TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 T/AHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Analisis Putusan No: 482/Pid.SUS/2011/PN.JKT.BARAT )
BAB
I
PENDAHULUAAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dalam rangka kehidupan bermasyarakat
setiap orang tidak dapat melepaskan diri dari berbagai hubungan timbal balik
dan kepentingan yang saling terkait antara yang satu dengan yang lainya yang
dapat di tinjau dari berbagai segi, misalya segi agama, etika, sosial budaya,
politik, dan termasuk pula segi hukum. Ditinjau dari kemajemukan kepentingan
seringkali menimbulkan konflik kepentingan, yang pada akhirya melahirkan apa
yang di namakan tindak pidana. Untuk melindugi kepentingan-kepentingan yang ada
tersebut, maka di buat suatu aturan dan atau norma hukum yang wajib di taati. Terhadap
orang yang melenggar aturan hukum dan menimbulkan kerugian kepada orang lain
akan di ambil tindakan berupa ganti kerugian atau denda, sedang bagi seorang
yang telah melakukan tindak pidana akan di jatuhi sanksi pidana berupa hukuman
badan baik penjara, kurungan dan atau denda.
|
Masalah pokok terkait dengan penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor
tersebut, adalah sebagai berikut:[1]
1.
Faktor hukumnya
sendiri.
2.
Faktor penegak
hukum,yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan Hukum
3.
Faktor sarana atau
fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4.
Faktor masyarakat,
yakni linkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau di terapkan.
5.
Faktor kebudayaan,yakni
sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang di dasarkan pada karsa manusia di
dalam pergaulan hidup
Minimnya lapangan pekerjaan yang
tersedia dan masalah tuntutan kebutuhan hidup (ekonomi) di masyarakat
menyebabkan munculnya berbagai macam kejahatan/tindak pidana.Salah satunya
adalah pidana kesusilaan dengan kekerasan. Di berbagai massa media cetak maupun
elektronik banyak di beritakan mengenai kesusilaan yang di lakukan oleh pelaku
dengan meggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan
yang bukan istrinya untuk bersetubuh degan dia.
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) sebenarya telah di atur ketentuan mengenai sanksi pidana terhadap
pelaku tindak pidana pencabulan dengan kekerasan, namun pada kenyataanya
kejahatan ini masih saja terjadi di banyak tempat dan tersembunyi dalam
kehidupan masyarakat. Tidak jarang kasus tesebut lolos dari jeratan hukum yang
berlaku, bahkan ad yang berhenti sampai pada tingkat pemeriksaan oleh
kepolisian maupun kejaksaan sehingga tidak sampai di proses di pengadilan. Untuk mewujudkan keberhasilan penegakan hukum
dalam memberantas maraknya kasus pencabulan dengan kekerasan sangat di perlukan
pemantapan koordinasi kerjasama yang serius baik dari aparat kepolisian, aparat
kejaksaan maupun hakim-hakim di pengadilan. Putusan hakim pemeriksa kasus pencabulan
dengan kekerasan di berbagai pengadilan berfariasi. Bahkan ada kasus pencabulan
dengan kekerasan yang hanya di vonis main-main dengan hukum penjara enam bulan.
Hal mana dapat di benarkan karena dalam batas-batas maksimum dan minimum (satu
hari smpai dua belas tahun) tersebut hakim bebas untuk bergerak untuk mendapatkan
pidana yang tepat.
Didalam menyelenggarakan sistem
penyelenggara hukum pidana (Criminal Justice Sistem) maka pidana
menempati suatu posisi sentral. Hal ini di sebabkan karena putusan di dalam
pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, lebih-lebih kalau putusan
pidana tersebut di anggap tidak tepat, maka akan menimbulkan reaksi yang
“Kontroversial”, sebab kebenaran di dalam hal ini sifatnya adalah relatif
tegantung dari mana kita memandangya.
Persoalan pidana ini adalah sangat
kompleks dan mengandung makna yang sangat mendalam, baik yuridis maupun sosiologis.
Sebagai mana di ketahui bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada
dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia ( natuurlijke
personen)[2].
Perbutan orang tersebut adalah titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana. Dipidananya seorang tidaklah
cukup apabila orang tersebut telah melakukan perbuatn yang bertentangan dengan
hukum atau bersifat melawan hukum, namun untuk adanya pemidanaan diperlukan
syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau
bersalah (subjectief guilt).
Pada dasarnya seseorang telah merlakukan
suatu tindak pidana dapat dikenai saksi pidana apabila perbuatannya tersebut
memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana yang harus di
penuhi antara lain adalah suatu perbuatan memenuhi rumusan undang-undang dan
bersifat melawan hukum dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang di
anggap mampu bertanggungjawab. Tindak pidana pencabulan denga kekerasan diancam
dalam pasal 285 & 289 KUHP memutuskan “Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman. Kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan, diancam karena melakukan kesusilaan, dengan pidana paling lama dua
belas tahun” Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul TINDAK PIDANA PENCABULAN
TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 T/AHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Analisis Putusan No: 482/Pid.SUS/2011/PN.JKT.BARAT )
B. Identifikasi
Masalah.
Berdasarkan urain pada latar
belakang penelitian tersebut maka maslahnya dapat diidentifikasi sebagai
berikut :
1.
Apakah pertimbangan
hakim dalam memutus perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur
?
2.
Apakah sanksi pidana
yang di jatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak
dibawah umur ?
C. Perumusan
Masalah
Dari apa yang telah di uraikan di
atas maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan pidana pada tindak pidana pencabulan terhadap anak
dibawah umur ?
2.
Sudahkah isi putusan
pengadilan No 482/Pid.SUS/2011/PN. JKT.
BARAT mencerminkan rasa keadilan terhadap korban tindak
pidana pencabulan ?
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di
atas, maka tujuan dalam penelitian ini di uraikan sebagai berikut :
a. Untuk
mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana dalam tindak pidana pencabulan
terhadap anak dibawah umur.
b. Untuk
mengetahui isi putusan
pengadilan No : 482/Pid.SUS/2011/PN.JKT.BARAT.
mencerminkan rasa keadilan terhadap korban tindak pidana pencabulan.
2. Manfaat
penulisan
a. Bagi
Peneliti
Guna
memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi SarjanaStrata I
(S-1) Ilmu Hukum pada Universitas Pamulang,sekaligus untuk menambah dan
memperdalam ilmu pengetahuan hukum pidana khususnya tentang pertimbangan hakim
yang memuat sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan.
b. Bagi
Akdemik
Untuk
menambah wawasan dan pengetahuan di bidang ilmu hukum pidana khususnya mengenai
putusan hakim yang memu pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
pencabulan sebagai kajian hukum pidana, serta di harapkan pula penelitian ini
dapat menjadi wacana/referensi sebagai sumbangan pemikiran bagi para civitas
akademika Fakultas Hukum Universitas Pamulang
E. Kerangka
Teori
Tindak
pidana pencabulan dengan kekerasan
merupakan salah satu bentuk kejahatan yang sangat menganggu keamanan dan
ketertiban hidup masyarakat. Untuk memberantas kejahatan ini, Pemerintah
Indonenesia melakukan upaya penegakan hukum melalui tahap-tahap
pemeriksaan perkara yang di lakukan oleh
Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Pemriksaan perkara tindak pidana
kesusilaan dengan kekerasan pada tingkat pertama di lakukan oleh Kepolisian
(penyidik), setelah Berita Acara Pemeriksaan pelaku tindak pidana kesusilaan
dengan kekerasan tersebut lengkap kemudian di limpahkan kepada Kejaksaan
(selaku penuntut umum yang berwenang mengajukan dakwaan dan penuntutan) untuk
selanjutnya di proses di pengadilan
Menurut
Moelyanto
“perbutan
pidana” sbagaimana yang dijelaskan dalam bukunya Azas-Azas Hukum pidana
menyamakan antara perbuatan pidana dengan istilah inggris istilah “ Criminal
Act”. Penyamaan ini akibat, atau dengan lain perkataan akibat dari yang
dilarang oleh hukum. Kedua, karena juga di pisahkan dari pertanggungjawaban
pidana yang dinamakan liability atau responsibility. Untuka adanya criminal
liability (jadi untuk pidananya seseorang) selain dari pelakunya criminal
act (tindak pidana) orang juga harus mempunyai kesalahan atau guilt.[3]
Pelanggaran pidana adalah istilah yang
di gunakan oleh H. Tirto Amidjaja dalam bukunya yang berjudul “
Pokok-Pokok Hukum Pidana ” tahun 1984[4]
Menurut Ezzat
Abdel Fatah
Setiap
anggota msyarakat potensial untuk menjadi korban kejahatan. Hal ini berarti
bahwa setiap orang mempunyai peluang untuk menjadi korban kejahatan. Hanya saja
apakah setiap orang menyadari hal itu dan berupaya untuk mencegah dirinya menjadi
korban[5].
Paul Separovic
menyatakan bahwa ada 3 faktor yang menyebabkan seseorang untuk menjadi korban.
1. faktor
personal, termasuk keadaan biologis ( umur, jenis kelamin, keadaan mental
) ;
2. faktor
sosial, misalnya imigran, minoritas, pekerjaan, perilaku jahat, dan hubungan
antar pribadi ;
3. faktor
situasional, misalnya situasi konflik, tempat dan waktu[6]
Menurut Moch. Anwar
memaksa
bersetubuh dengan dia yakni dengan menggunakan paksaan terhadap seseorang
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan merupakan perbutan dilarang menurut
pasal 286 KUHP[7].
F. Metode
Penelitian
Dalam
pembahasan sekripsi ini, penyusun melakukan penelitian melalui dua tahap, yaitu
:
1.
Studi kepustakaan (Library
Research)
Yaitu
penelitian yang di lakukan dengan mempelajari kerangka teori melalui literatur,
media masa, dan karangan-karangan para sarjana yang ada relevansinya dengan pembahasan
dalam penelitian sekripsi ini.
2.
Studi Lapangan (Field
research)
Yaitu
penelitian yang di lakukan secara langsung pada obyek penelitian dalam hal ini
adalah Pengadilan Negri Jakarta Barat, gunanya adalah untuk mendapatkan data
dan keterangan secara langsung, yaitu dengan Menganalisa Berkas Perkara secara
langsung,serta mencatat data-data yang berhubungan dengan penelitian sekripsi
ini.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan,
penelitian skripsi ini disusun sistematika sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Penulis mengemukakan tentang latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan maksud penelitian, metode penelitian
dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM
Tinjauan umum mengenai tindak pidana, Tinjauan Umum Mengenai Pencabulan,
Tinjauan Umum Mengenai Anak
Dibawah Umur.
BAB III PROSES PENEGAKAN DAN PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK DIBAWAH UMUR DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
Bab ini meguraikan tentang Perlindungan Anak, Perlindungan
terhadap Korban.
BAB IV PROSES PENEGAKAN DAN PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PENCABUALAN ANAK DIBAWAH UMUR DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ( Analisis Putusan N :
482/Pid.SUS/2011/PN.JKT.BARAT)
Bab
ini menguraikan tentang Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi terjadinya Tindak Pidana Pencabulan terhadap Anak dibawah Umur,
Pengaturan Tindak Pidana Pencabualan terhadap Anak
dibawah Umur Menurut Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku Di Indonesia, Upaya Penanggulangan
Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Dibawah Umur.
BAB V PENUTUP
Dalam bab ini
merupakan kesimpulan dan saran
[2] Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang :
Yayasan Sudarto Fakultas Hukum UNDIP, 1990, hal.60
[3] Moeljanto, Azaz-azaz
Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 2000. hal.57
[4] Masruchin Ruba’ I dan
Made S. Astuiti Diazuli, Hukum pidana I, Malang 1999. hal. 28
[5] Ibid. hal. 6
[6] Ibid. Hal. 40
[7] Moch. Anwar H.A.K., Hukum
Acara Pidana. Jakarta. Pustaka. 1994. hal. 16
BAB
II
TINJAUAN
UMUM
A. Tinjauan
Umum Mengenai Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah
tindak pidana yang dikenal di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
yang dimana pembentuk undang-undang mengenalnya dengan istilah strafbar feit.
Di dalam bahasa Belanda, Strafbar yang berarti dapat dihukum, sedangkan feit
yang berarti suatu kenyataan atau fakta. Strafbar feit menurut
pendapat Simons ialah “kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana
yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab”.[8]
Sedangkan menurut pendapat Van Hamel, strafbar feit adalah “kelakuan
orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang
bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan
dengan kesalahan”.[9]
Beberapa asumsi atau pendapat mengenai pengertian tindak pidana menurut para
ahli seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Moeljatno,
menurutnya tindak pidana yang dikenalnya dengan istilah perbuatan pidana yang
berarti “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut”.[10]
Berdasarkan
asumsi di atas, dalam hal dilarang dan diancamnya perbuatan pidananya, yaitu
berdasarkan asas legalitas (principle of legality) yang terkandung di
dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dimana suatu asas
yang menentukan bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, Kalimat
asas yang tersebut di atas, lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana
tanpa peraturan lebih dahulu), kalimat tersebut berasal dari Von Feurbach,
seorang sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas tersebut yang dimaksud
mengandung tiga pengertian yang dapat dismpulkan yaitu antara lain:
a. Tidak
ada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
b. Untuk
menentukan suatu perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
c. Aturan-aturan
hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Perbedaaan
pandangan dan pendapat dari para ahli hukum maupun pembentuk undang-undang
dalam hal mendefinisikan istilah tindak pidana yang disetarakan dengan istilah
perbuatan pidana, maupun peristiwa pidana dan lain sebagainya kemungkinan untuk
mengalihkan bahasa dari istilah asingnya yaitu stafbaar feit, akan
tetapi dari pengalihan bahasa tersebut apakah berpengaruh atau tidak dalam
makna dan pengertiannya, yang disebabkan sebagian besar di kalangan para ahli
hukum belum secara jelas dan terperinci dalam menerangkan pengertian istilah
tindak pidana, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal tersebutlah yang
merupakan pokok perbedaan pandangan diantara para ahli hukum dalam
mendefinisikan istilah tindak pidana.
Pengertian
tindak pidana merupakan suatu dasar dalam ilmu hukum terutama hukum pidana yang
dimana ditujukan sebagai suatu istilah perbuatan yang melanggar norma-norma
atau aturan hukum yang berlaku di suatu negara. Oleh karena itu dapat dikatakan
sebagai tindak pidana harus memenuhi syarat-syarat seperti :
a.
Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.
b.
Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang
dirumuskan dalam undang-undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan
dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
c.
Harus ada kesalahan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu
perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.
d. Harus
ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu
mencantumkan sanksinya.[11]
Dari
syarat-syarat di atas, perbuatan yang dapat dikatakan suatu tindak pidana ialah
perbuatan yang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar
ketentuan hukum atau undang-undang yang berlaku dan disertai ancaman hukumannya
untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
2.
Unsur-unsur
Tindak Pidana
Dalam
kita mengklasifikasikan suatu tindak pidana ke dalam unsurunsurnya, yang perlu
diperhatikan ialah apakah perbuatan tersebut telah melanggar undang-undang atau
tidak. Berbagai macam tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat diklasifikasikan ke dalam unsur-unsur
yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif tersebut
merupakan unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan
dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu
antara lain sebagai berikut :
a.
Kesengajaan atau ketidaksengajaan (Dolus
atau Culpa);
b.
Maksud atau Voornemen pada suatu
percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
c.
Macam-macam maksud atau oogmerk seperti
yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
d.
Merencanakan terlebih dahulu atau Voorbedachte
raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340
KUHP;
e.
Perasaan takut yang antara lain terdapat
di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.[12]
Sedangkan
unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan,
yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus
dilakukan. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu antara lain
sebagai berikut :
a.
Sifat melanggar hukum atau Wederrechtelicjkheid;
b.
Kwalitas dari si pelaku, misalnya kedaan
sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415
KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas
di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
c.
Kausalitas yakni hubungan antara suatu
tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.[13]
Dari
uraian di atas, yang terpenting dalam merumuskan suatu tindak pidana ialah
apakah dari perbuatan tersebut terdapat suatu sifat melanggar hukum, walaupun
pembentuk undang-undang tidak menyatakan dalam suatu unsur tindak pidana, akan
tetapi unsur tersebut sebenarnya dapat bertujuan untuk mengklasifikasikan bahwa
benar perbuatan tersebut ialah suatu tindak pidana, dan unsur lainnya seperti
kausalitas yang dimana sebab dan akibat menjadi tolak ukur dalam menentukan
bahwa itu suatu tindak pidana atau bukan merupakan tindak pidana.
3.
Jenis-Jenis
Tindak Pidana
Pembagian
jenis-jenis tindak pidana atau delik menurut ilmu pengetahuan hukum pidana yang
dapat dibedakan dari beberapa sudut yang antara lain sebagai berikut :
a. Berdasarkan
sistem KUHP terdapat delik kejahatan dan delik pelanggaran tersebut terdapat
dalam KUHP. Pembedaan dan pembagian terletak pada buku II KUHP yang mngatur
tentang kejahatan dan buku III yang mengatur tentang pelanggaran. Dalam ancaman
pidananya, pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan yang dimana kejahatan yang
ancaman pidananya menitikberatkan penjara, sedangkan pelanggaran lebih
menitikberatkan denda atau kurungan. Secara kuantitatif, pembuat undang-undang
membedakan delik kejahatan dan pelanggaran sebagai berikut :
1) Pasal
5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang merupakan kejahatan di
Indonesia. Jika seseorang melakukan delik di luar negeri yang digolongkan
sebagai delik pelanggaran di Indonesia maka dipandang tidak perlu dituntut.
2) Percobaan
dan membantu melakukan delik pelanggaran tindak pidana tidak dipidana.
3) Pada
pemidanaan atau pemidanaan terhadap anak di bawah umur tergantung apakah itu
kejahatan atau pelanggaran.
b. Dari
segi perumusannya terdapat delik formil dan delik materil. Delik formil adalah
suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang dianggap selesai dengan
dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan delik materil adalah
suatu tindak pidana yang selesai atau sempurna dengan timbulnya akibat yang
dilarang.
c. Dari
segi sifat perbuatannya terdapat delik komisi dan delik omisi. Delik komisi
yaitu tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif yang melanggar
larangan. Yang dimaksud perbuatan aktif tersebut adalah perbuatan yang
mewujudkan disyaratkannya adanya gerakan dari anggota tubuh yang berbuat.
Sedangkan delik omisi dibedakan menjadi dua macam yaitu delik omisi murni dan
delik omisi tidak murni. Delik omisi murni adalah membiarkan sesuatu yang
diperintahkan. Sedangkan delik omisi tidak murni merupakan tindak pidana yang
terjadi jika oleh undang-undang tidak dikehendaki suatu akibat yang ditimbulkan
dari suatu pengabaian.
d. Dari
bentuk kesalahannya terdapat delik sengaja dan delik tidak sengaja. Delik
sengaja adalah tindak pidana yang di dalam rumusannya dengan kesengajaan atau
mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan delik kelalaian atau tidak dengan
sengaja adalah tindak pidana yang dimana dalam rumusannya tidak mengandung
unsur kesengajaan.
e. Dari
segi penuntutannya terdapat delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah
tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan oleh orang yang
merasakan dirugikan terhadap tindakan pelaku. Sedangkan delik biasa adalah
tindak pidana yang dapat dituntut tanpa adanya suatu pengaduan.
f. Dari
segi perbuatannya terdapat delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan.
Delik yang berdiri sendiri yaitu suatu tindak pidana yang terdiri atas satu
perbuatan, sedangkan delik yang diteruskan yaitu suatu tindak pidana yang
terdiri atas beberapa perbuatan yang mempunyai pertalian yang sedemikian
eratnya sehingga harus dianggap satu perbuatan. Pembagian antara delik yang
berdiri sendiri dengan delik yang diteruskan untuk menentukan suatu perbarengan
(samenloop).
g. Dari
segi keadaan terdapat delik selesai dan delik berlanjut. Delik selesai yaitu tindak
pidana yang selesai terjadi dengan melakukan satu atau beberapa perbuatan
tertentu, sedangkan delik berlanjut yaitu tindak pidana yang dilakukan untuk
melangsungkan suatu keadaan terlarang.
h. Dari
sudut berapa kali perbuatannya yang dilarang yang dilakukan terdapat delik
tunggal dan delik berangkai. Delik tunggal yaitu suatu tindak pidana yang
terdiri atas satu perbuatan atau sekali saja dilakukan, sedangkan delik
berangkai ialah suatu tindak pidana yang terdiri dari beberapa jenis perbuatan.
i.
Dari sudut kepentingan negara terdapat
delik politik dan delik kelompok. Delik politik ialah tindak pidana yang
tujuannya di arahkan kepada keamanan negara dan terhadap kepala negara,
sedangkan delik kelompok yaitu tindak pidana yang tidak ditujukan terhadap
keamanan negara atau kepala negara. Dari sudut unsur perbuatannya terdapat
delik sederhana, delik dengan pemberatan dan delik peringanan. Delik sederhana
yaitu tindak pidana dalam bentuk pokok seperti yang telah dirumuskan oleh
pembentuk undang-undang. Delik dengan pemberatan yaitu tindak pidana yang mempunyai
unsur yang sama dengan tindak pidana bentuk pokok akan tetapi ada unsur-unsur
lain yang ditambahkan, sehingga ancaman pidananya lebih berat dari tindak
pidana pokoknya. Sedangkan delik peringanan ialah tindak pidana yang mempunyai
unsur yang sama dengan tindak pidana bentuk pokoknya akan tetapi ditambahkan unsur-unsur
lainnya yang dan dapat meringankan ancaman pidananya.
j.
Dari segi subyek hukumnya terdapat delik
propria (khusus) dan delik komun (umum). Delik propria atau delik khusus adalah
tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang tertentu seperti pegawai negeri
sipil atau yang mempunyai kedudukan struktural di pemerintahan. Sedangkan delik
komun atau delik umum ialah tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang.
B. Tinjauan
Umum Mengenai Pencabulan
1. Pengertian
Pencabulan
Dalam hal pengertian pencabulan,
pendapat para ahli dalam mendefinisikan tentang pencabulan berbeda-beda seperti
yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto, “pencabulan adalah suatu usaha
melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan
dengan cara menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar”. Dari pendapat
tersebut, berarti pencabulan tersebut di satu pihak merupakan suatu tindakan atau
perbuatan seorang laki-laki yang melampiaskan nafsu seksualnya terhadap seorang
perempuan yang dimana perbuatan tersebut tidak bermoral dan dilarang menurut
hukum yang berlaku. R. Sughandhi dalam asumsi mengatakan tentang pencabulan
ialah :
seorang pria yang memaksa pada seorang
wanita bukan isterinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman
kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang
kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani.[14]
Dari pendapat R. Sughandhi di atas,
bahwa pencabulan tersebut adalah seorang pria yang melakukan upaya pemaksaan
dan ancaman serta kekerasan persetubuhan terhadap seorang wanita yang bukan
isterinya dan dari persetubuhan tersebut mengakibatkan keluarnya air mani
seorang pria. Jadi unsurnya tidak hanya kekerasan dan persetubuhan akan tetapi
ada unsur lain yaitu unsur keluarnya air mani, yang artinya seorang pria
tersebut telah menyelesaikan perbutannya hingga selesai, apabila seorang pria
tidak mengeluarkan air mani maka tidak dapat dikategorikan sebagai pencabulan.
Asumsi yang tak sependapat dalam hal
mendefinisikan pencabulan tidak memperhitungkan perlu atau tidaknya unsur
mengenai keluarnya air mani seperti yang dikemukakan oleh PAF Lamintang dan
Djisman Samosir yang berpendapat “perkosaan adalah perbuatan seseorang yang
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan
di luar ikatan perkawinan dengan dirinya”.[15]
Dari pendapat tersebut, ini membuktikan
bahwa dengan adanya kekerasan dan ancaman kekerasan dengan cara dibunuh,
dilukai, ataupun dirampas hak asasinya yang lain merupakan suatu bagian untuk mempermudah
dilakukannya suatu persetubuhan. Menurut Arif Gosita, perkosaan dapat
dirumuskan dari beberapa bentuk perilaku yang antara lain sebagai berikut :
a.
Korban pencabulan harus seorang wanita,
tanpa batas umur (objek). Sedangkan ada juga seorang laki-laki yang diperkosa
oleh wanita.
b.
Korban harus mengalami kekerasan atau
ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai
niat dan tindakan perlakuan pelaku.
c.
Persetubuhan di luar ikatan perkawinan
adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan terhadap wanita tertentu. Dalam
kenyataan ada pula persetubuhan dalam perkawinan yang dipaksakan dengan
kekerasan, yang menimbulkan penderitaan mental dan fisik. Walaupun tindakan ini
menimbulkan penderitaan korban, tindakan ini tidak dapat digolongkan sebagai
suatu kejahatan oleh karena tidak dirumuskan terlebih dahulu oleh pembuat
undang-undang sebagai suatu kejahatan.[16]
Dari perumusan di atas menunjukan bahwa
posisi perempuan ditempatkan sebagai objek dari suatu kekerasan seksual
(pencabulan) karena perempuan identik dengan lemah, dan laki laki sebagai
pelaku dikenal dengan kekuatannya sangat kuat yang dapat melakukan pemaksaan persetubuhan
dengan cara apapun yang mereka kehendaki meskipun dengan cara kekerasan atau
ancaman kekerkasan. Fungsi dari kekerasan tersebut dalam hubungannya dengan
tindak pidana adalah sebagai berikut :
a. Kekerasan
yang berupa cara melakukan suatu perbuatan. Kekerasan di sini memerlukan syarat
akibat ketidakberdayaan korban. Ada causal verband antara kekerasan
dengan ketidakberdayaan korban. Contohnya kekerasan pada pencabulan, yang
digunakan sebagai cara dari memaksa bersetubuh. Juga pada pemerasan (Pasal
368), yang mengakibatkan korban tidak berdaya, dengan ketidakberdayaan itulah
yang menyebabkan korban dengan terpaksa menyerahkan benda, membuat utang atau
menghapuskan piutang.
b. Kekerasan
yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana bukan merupakan cara
melakukan perbuatan. Contohnya kekerasan pada pasal 211 atau 212.[17]
Sedangkan ancaman kekerasan mempunyai
aspek yang penting dalam pencabulan yang antara lain sebagai berikut :
a.
Aspek obyektif, ialah (a) wujud nyata
dari ancaman kekerasan yang berupa perbuatan persiapan dan mungkin sudah
merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan untuk dilakukannya perbuatan yang
lebih besar yakni kekerasan secara sempurna; dan (b) menyebabkan orang menerima
kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut, rasa cemas
(aspek subyektif yang diobjektifkan). Aspek subyektif, ialah timbulnya suatu
kepercayaan bagi si penerima kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku yang
dimintanya tidak dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka
kekerasan itu benar-benar akan diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangat penting
dalam ancaman kekerasan sebab jika kepercayaan ini tidak timbul pada diri
korban, tidaklah mungkin korban akan membiarkan dilakukan suatu perbuatan
terhadap dirinya.[18]
Kekerasan dan ancaman kekerasan tersebut
mencerminkan kekuatan fisik laki-laki sebagai pelaku merupakan suatu faktor
alamiah yang lebih hebat dibandingkan perempuan sebagai korban, sehingga
laki-laki menampilkan kekuatan yang bercorak represif yang menempatkan perempuan
sebagai korbannya. Karakteristik utama dalam perkosaan ialah “bahwa perkosaan
terutama bukan ekspresi agrsivitas (baca: kekerasan) dari seksualitas (the agressive expression of sexuality)
akan tetapi merupakan ekspresi seksual dari suatu agresivitas (sexual expression of aggression)”.[19] Dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pengertian perkosaan tertuang pada
pasal 285 yang berbunyi “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seorang wanita yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, diancam
karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Dalam
pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan antara lain :
a. Korban
pencabulan harus seorang wanita, tanpa klasifikasi umur yang signifikan.
Seharusnya wanita dapat dibedakan yang antara lain sebagai berikut :
1) Wanita
belum dewasa yang masih perawan.
2) Wanita
dewasa yang masih perawan.
3) Wanita
yang sudah tidak perawan lagi.
4) Wanita
yang sedang bersuami.[20]
b. Korban
mengalami pemaksaan bersetubuh berupa kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini
berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan
perlakuan pelaku.
Dalam perkembangannya yang semakin maju
dan meningkat dengan pesat ini, dalam hal ini muncul banyak bentuk penyimpangan
khususnya pencabulan seperti bentuk pemaksaan persetubuhan yang dimana bukan vagina
(alat kelamin wanita) yang menjadi target dalam pencabulan akan tetapi anus
atau dubur (pembuangan kotoran manusia) dapat menjadi target dari pencabulan
yang antara lain sebagai berikut :
a.
Perbuatannya tidak hanya bersetubuh
(memasukkan alat kelamin ke dalam vagina), tetapi juga :
a. Memasukkan
alat kelamin ke dalam anus atau mulut.
b. Memasukkan
sesuatu benda (bukan bagian tubuh laki-laki) ke dalam vagina atau mulut wanita.
b.
Caranya tidak hanya dengan kekerasan/
ancaman kekerasan, tetapi juga dengan cara apapun di luar kehendak/ persetujuan
korban.
c.
Objeknya tidak hanya wanita dewasa yang
sadar, tetapi wanita yang tidak berdaya/ pingsan dan di bawah umur, juga tidak
hanya terhadap wanita yang tidak setuju (di luar kehendaknya), tetapi juga
terhadap wanita yang memberikan persetujuannya karena dibawah ancaman, karena
kekeliruan/ kesesatan/ penipuan atau karena di bawah umur.[21]
Pelaku pencabulan terhadap anak-anak di
bawah umur yang dapat juga disebut dengan chid molester, dapat
digolongkan ke dalam lima kategori yaitu:
a.
Immature :
para pelaku melakukan pencabulan disebabkan oleh ketidakmampuan
mengidentifikasikan diri mereka dengan peran seksual sebagai orang dewasa.
b.
Frustated :
para pelaku melakukan kejahatannya (pencabulan) sebagai reaksi melawan frustasi
seksual yang sifatnya emosional terhadap orang dewasa. Sering terjadi mereka
beralih kepada anak-anak mereka sendiri (incest)
ketika merasa tidak seimbang dengan istrinya.
c.
Sociopathic :
para pelaku pencabulan yang melakukan perbuatanya dengan orang yang sama sekali
asing baginya, suatu tindakan yang keluar dari kecenderungan agresif yang
terkadang muncul.
d.
Pathological :
para pelaku pencabulan yang tidak mampu mengontrol dorongan seksual sebagai
hasil psikosis, lemah mental, kelemahan organ tubuh atau kemerosotan sebelum waktunya
(premature senile deterioration).
2.
Unsur-unsur Pencabulan
Pencabulan merupakan suatu tindak
kejahatan yang pada umumnya diatur dalam pasal 285 KUHP, yang bunyinya adalah
sebagai berikut :
Barangsiapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan
dia, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.[23]
Jika diperhatikan dari bunyi pasal
tersebut, terdapat unsur-unsur yang antara lain sebagai berikut:
a. “Barangsiapa” merupakan suatu istilah
orang yang melakukan.
b. “Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” yang
artinya melakukan kekuatan badan, dalam pasal 289 KUHP disamakan dengan
menggunakan kekerasan yaitu membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya.
c. “Memaksa seorang wanita yang bukan istrinya
bersetubuh dengan dia” yang artinya seorang wanita yang
bukannya istrinya mendapatkan pemaksaan bersetubuh di luar ikatan perkawinan
dari seorang laki-laki.
Pencabulan dalam bentuk kekerasan dan
ancaman kekerasan untuk bersetubuh dengan anak di bawah umur diatur juga dalam
Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 81 ayat (1)
dan (2) yang menyebutkan :
a.
Setiap orang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
b. Ketentuan
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang
dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.[24]
Jika diperhatikan pada pasal tersebut di
atas, maka unsur-unsur pencabulan ialah sebagai berikut :
a. Setiap orang, yang berarti
subyek atau pelaku.
b. Dengan sengaja, yang berarti
mengandung unsur kesengajaan (dolus).
c. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
yang berarti dalam prosesnya diperlakukan dengan menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan. Memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain, yang berarti ada suatu pemaksaan dari pelaku atau
orang lain untuk bersetubuh dengan seorang anak (korban).
d. Berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang berarti
bahwa perbuatan tersebut dapat dilakukan dengan cara menipu, merayu, membujuk
dan lain sebagainya untuk menyetubuhi korbannya.
3.
Jenis-Jenis
Pencabulan
Didalam mengklasifikasikan pencabulan
dapat terbagi melalui beberapa macam jenis pencabulan yang antara lain sebagai
berikut :
a. Sadistic
rape
Pencabulan
sadistic, artinya, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk
yang merusak. Pelaku pencabulan telah Nampak menikmati kesenangan erotik bukan
melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atau alat
kelamin dan tubuh korban.
b. Angea
rape
Yakni
penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk
menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Di sini
tubuh korban seakan-akan merupakan objek terhadap siapa pelaku yang
memproyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan dan
kekecewaan hidupnya
c. Dononation
rape
Yakni
suatu pencabulan yang terjadi seketika pelaku mencoba untuk gigih atas
kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan
seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan
seksual.
d. Seduktive
rape
Suatu
pencabulan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta
oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal
harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai
keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa
bersalah yang menyangkut seks.
e. Victim
precipitatied rape
Yakni
pencabulan yang terjadi (berlangung) dengan menempatkan korban sebagai
pencetusnya.
f. Exploitation
rape
Pencabulan
yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang
diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan
posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya,
istri yang dicabuli suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa majikannya,
sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan (mengadukan) kasusnya ini kepada
pihaknya yang berwajib.[25]
C.
Tinjauan Umum Mengenai Anak Dibawah Umur
1.
Pengertian
Anak dibawah Umur
Istilah anak di bawah umur tersebut
dalam hal ini disetarakan dengan sebutan anak. Pengertian anak tersebut menurut
sejarah ialah sebagai berikut :
manusia berasal dari Adam dan Hawa dan
dari kedua makhluk Tuhan ini lahirlah keturunan yang kemudian beranak-pianak
menjadi kelompok-kelompok yang semakin membesar berpisah dan berpencar satu
sama lain berupa suku dan kabilah dan bangsa-bangsa seperti sekarang ini, seperti
apa yang difirmankan Tuhan dalam Al-Hujurat 13.[26]
Sedangkan
pengertian anak menurut kamus bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah
keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang
melahirkan keturunannya, yang dimana keturunan tersebut secara biologis berasal
dari sel telur laki-laki yang kemudian berkembang biak di dalam rahim wanita
berupa suatu kandungan dan kemudian wanita tersebut pada waktunya nanti
melahirkan keturunannya.
“Anak adalah amanah dan karunia Tuhan
Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya”.[27]
Anak merupakan makhluk sosial hal ini sama dengan orang dewasa, anak tidak dapat
tumbuh dan berkembang sendiri tanpa adanya orang lain, karena anak lahir dengan
segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai
taraf kemanusiaan yang normal. Anak harus kita jaga dan lindungi, dikarenakan :
a. Anak
mempunyai suatu sifat dan ciri khusus.
b. Anak
adalah sebagai potensi tumbuh kembang bangsa di masa depan.
c. Anak
tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari perlakuan salah dari orang lain.
Anak merupakan tunas, sumber potensi dan
generasi muda penerus perjuangan cita-cita bangsa dimasa yang akan datang
nantinya, oleh karena itu harus kita jaga dan kita lindungi dari perbuatan
buruk ataupun sebagai korban dari perbuatan buruk seseorang.
2.
Kategori
Batasan Anak Dibawah Umur
Untuk mengetahui apakah seseorang itu
termasuk anak-anak atau bukan, tentu harus ada batasan yang mengaturnya, dalam
hal ini beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur
tentang usia yang dikategorikan sebagai anak yang antara lain sebagai berikut :
a. Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Di
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang di kategorikan sebagai anak
terdapat dalam pasal 287 ayat (1) KUHP yang pada intinya usia yang
dikategorikan sebagai anak adalah seseorang yang belum mencapai lima belas tahun.
b. Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).
Di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dikategorikan
usia
seorang anak ialah seseorang yang belum dewasa seperti yang tertuang pada pasal
330 KUHPerdata.
c.
Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak.
Di
dalam undang-undang ini pada pasal 1 ayat (2) menyebutkan “anak adalah seorang yang belum mencapai
batas usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.[28]
Dalam pasal tersebut dapat diperhatikan bahwa yang dikategorikan
sebagai anak adalah di bawah usia dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin.
d.
Undang-undang No 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak.
Di
dalam undang-undang ini, yang dikategorikan sebagai anak terdapat dalam pasal 1
ayat (1) yang menyebutkan “anak adalah
orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.[29]
Dari penjelasan pasal tersebut dapat di perhatikan bahwa yang dikatakan
sebagai anak adalah seorang yang berumur dari delapan tahun sampai delapan
belas tahun.
e. Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
Di
dalam undang-undang ini yang dikategorikan sebagai anak tertuang pada pasal 1
ayat (5) yang menyebutkan “anak adalah
setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah
demi kepentingannya”.[30]
Menurut pasal ini, yang dikategorikan sebagai anak ialah mulai dalam
kandungan sampai usia delapan belas tahun dan belum menikah. Undang-undang No
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam undang-undang ini yang
dikategorikan sebagai anak tertuang pada pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan “anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.[31]
Menurut pasal tersebut di atas bahwa yang di kategorikan sebagai anak ialah
seorang yang berusia di bawah delapan belas tahun sampai dalam kandungan
sekalipun masih dapat dikategorikan sebagai anak.
f. Undang-Undang
No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Pada
pasal 1 ayat (4) yanga menyebutkan “anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun”.[32]
Berarti kategori dikatakan usia seorang anak menurut pasal ini ialah belum
berusia delapan belas tahun.
Peraturan perundang-undangan di
Indonesia memang tidak seragam dalam menentukan bagaimanakah dapat dikatakan
sebagai anak, akan tetapi dalam setiap perbedaan pemahaman tersebut, tergantung
situasi dan kondisi dalam pandangan yang mana yang akan dipersoalkan nantinya.
[8]
Moeljatno, op.cit., hal 56.
[9]
Ibid hal 56
[10]
Moeljatno, op. cit., hal. 54.
[11]
Daliyo, op. cit., hal. 93.
[12] P.A.F. Lamintang,Dasar-dasar Hukum PidanaIndonesia, (Bandung, : Citra Aditya Bakti,
1997), hal. 193.
[14]
Ibid hal. 41
[15]
Ibid hal. 41
[16]
Ibid., hal. 45.
[17]
Adami
Chazawi, Tindak Pidana Mengenai
Kesopanan, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 64
[18]
Ibid., hal. 66.
[19]
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta
Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung : Mandar Maju, 1995), hal. 108
[20]
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap
Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Cet. 2, (Jakarta : Sinar Grafika,
2004), hal. 50.
[21]
Topo Santoso, Seksualitas Dan
Hukum Pidana, (Jakarta : IND-HILL-CO, 1997), hal. 67.
[22]
Ibid., hal. 45
[23]
Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
Acara Pidana, Dan Perdata , Penghimpun Solahudin, Cet. 1, (Jakarta,
Visimedia, 2008), Pasal 285 KUHP.
[24] Indonesia, Undang-undang Perlindungan Anak,
UU No 23Tahun 2002, ps. 81 ayat (1) dan (2).
[25]
Wahid, op. cit., hal. 46.
[26]
Hamzah, op.cit., hal. 169.
[27]
Irsan, op.cit., hal. 1.
[28] Tribowo Hersandy Febriyanto, Indonesia,
Undang-undang Kesejahteraan Anak, UU No 4, L.N No. 32 Tahun 1979, T.L.N No.
3143, ps. 1 ayat (2).
[29] Chandra
Ningsih, Ratih, Indonesia, Undang-undang Pengadilan Anak, UU No 3, L.N. No. 3
Tahun 1997, T.L.N No. 3668, ps. 1 ayat (1).
[30]
Tribowo
Hersandy Febriyanto Indonesia, Undang-undang Hak Asasi Manusia, UU No. 39, L.N.
No 165 Tahun 1999, T.L.N. No. 3886, ps. 1 ayat (5).
[31] Soerjarno Soekanto, Indonesia, Undang-undang
Perlindungan Anak, UU No 23, L.N No. 109 Tahun 2002, T.L.N. No. 4235 ps. 1 ayat
(1).
[32]
Edward Elgar, Indonesia,
Undang-undang Pornografi, UU No 44, L.N. No. 181Tahun 2009, T.L.N No. 4928, ps.
1 ayat (4).
BAB
III
PROSES PENEGAKAN DAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
A. Penegakan
Hukum
Permasalahan penegakan hukum ialah masalah
yang sangat serius bagi suatu negara khususnya di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Oleh karena itu masalah tersebut bukan permasalahan yang sangat
mudah untuk menemukan solusinya atau jalan keluarnya tetapi masalahnya terletak
pada praktek penegakan hukum itu sendiri.
Pada kasus pencabulan terhadap anak di
bawah umur banyak terjadi permasalahan mengenai bagaimana hukum dalam menegakan
keadilan bagi para pelaku pencabulan tersebut yang dihukum dengan hukuman yang
dapat dikatakan hukuman tersebut tidak dapat membuat perilaku para pelaku
tersebut berubah menjadi lebih baik, sehingga ini menyebabkan korban merasa
tidak mendapatkan keadilan yang efisien oleh kejahatan apa yang telah pelaku lakukan
terhadap korban khususnya anak di bawah umur. Hukum adalah aturan untuk
manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat
atau kegunaan bagi masyarakat.
Perlu dipahami bahwa kualitas
pembangunan dan penegakan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan sekedar
kualitas formal, akan tetapi adalah kualitas materil atau substansial.
Kemudian, strategi sasaran pembangunan dan penegakan hukum, harus ditujukan
pada kualitas substantif yang dimana opini yang dituntut masyarakat yang
berkembang dituntut saat ini, yaitu antara lain:
1. Adanya
perlindungan hak asasi manusia.
2. Adanya
nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan keyakinan antara masyarakat berserta
pemerintah dan penegak hukum.
3. Bersih
dari praktik pilih kasih, korupsi, kolusi, dan nepotisme, mafia peradilan dan
penyalahgunaan kekuasaan ataupun kewenangan.
4. Terselenggaranya
pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
5. Terwujudnya
penegakan hukum yang efisien dan tegaknya kode etik dan profesi penegak hukum.
Penegakan hukum dalam suatu kasus
perkosaan yang dilakukan oleh pelakunya orang dewasa terhadap korban yang masih
di bawah umur kurang efisien diterapkan dalam kenyataannya, hal tersebut
disebabkan terdapat faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi penegakan
hukum tersebut yang antara lain sebagai berikut :
1. Faktor
Hukum.
Pada faktor hukumnya, maksudnya dalam
hal kaitannya mengenai undang-undang yang berlaku di Indonesia yang semakin
beragam bentuk serta tujuannya dan hampir dalam kehidupan sehari-sehari
masyarakat harus menaati peraturan tersebut.
Dalam setiap peraturan perundang-undangan
memiliki kelemahan-kelemahan dalam setiap pasalnya, banyaknya
perundang-undangan dibuat yang bertujuan untuk menekan angka pelanggaran dan
kejahatan, akan tetapi dalam kenyataannya angka pelanggaran dan kejahatan itu
semakin meningkat dari tahun ke tahun, peningkatan tersebut disebabkan ialah kurangnya
masyarakat memahami undang-undang tersebut serta kurangnya sosialisasi mengenai
penyuluhan hukum mengenai undang-undang pada masyarakat.
Jika memperhatikan pendapat dari
Soerjono Soekanto, yang mengemukakan pendapat, bahwa gangguan pada penegakan
hukum yang berasal dari undang-undang mungkin dapat menjadi penyebab, karena :
a.
Tidak diikutinya asas-asas berlakunya
undang-undang.
b.
Belum adanya pelaksanaan yang sangat
dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang.
c.
Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam
undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta
penerapannya.[33]
Dari gangguan di atas, ini membuktikan
bahwa undang-undang terutama KUHP pasal 285 mengenai pencabulan yang kurang
efisien dalam memberikan arti kata sehingga menimbulkan suatu keraguan terutama
pada kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur apakah dapat disesuaikan dengan
pasal tersebut dikarenakan tidak ada pendefinisian secara signifikan mengenai
wanita dalam kategori dewasa atau anak-anak.
2. Faktor
Penegak Hukum
Penegakan hukum tidak akan berjalan
dengan baik, apabila tidak didukung oleh para penegak hukumnya yang khususnya
bergerak di dalam bidang hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengacara, kehakiman
dan lembaga pemasyarakatan. Lemah kuatnya suatu penegakan hukum berasal dari
para penegak hukumnya, jika para penegak hukumnya lemah, maka masyarakat akan
mempersepsikan bahwa hukum dilingkungannya tidak ada atau seolah masyarakat
berada dalam hutan rimba yang tanpa aturan satu pun yang mengaturnya.
Saat ini dinamika yang terjadi dalam
proses pencarian keadilan pada pranata hukum kita ternyata telah berkembang
menjadi begitu kompleks. Masalah-masalah hukum dan keadilan bukan lagi sekedar
masalah teknis prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan
atau tidak dengan peraturan perundang-undangan, atau apakah sesuai atau tidak dengan
hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, akan tetapi, masalah hukum yang
menjadi polemik adalah seputar bagaimana mempersiapkan yang belum ada dan
menyesuaikan yang tidak lagi cocok dalam rangka proses transplantasi hukum
secara besar-besaran yang berjalan mengiringi proses pertumbuhan tatanan baru
globalisasi. Dalam kondisi seperti ini, permasalahan hukum bukan lagi hanya persoalan
eksklusif yang berkaitan dengan perlindungan atas hak dari segelintir orang.
Yang terjadi dalam masyarakat seperti ini adalah dihadapkannya kenyataan bahwa
permasalahan hukum merupakan permasalahan setiap orang. Di sisi lain, proses
transplantasi tersebut juga menuntut negara dan masyakarat untuk menanggulangi
distorsi yang ada agar tidak terus-menerus menjalar dan menggerogoti seluruh
institusi dan infrastruktur pendukung sistem hukum Indonesia.
Salah satu contohnya adalah bahwa
pengadilan saat ini tidak lagi berperan sebagai ruang sakral di mana keadilan
dan kebenaran diperjuangkan, tapi telah berubah menjadi pasar yang menjadi
mekanisme penawaran dan permintaan sebagai dasar putusannya. Sedangkan disisi
lain perkara hukum menjadi tolak ukur demi keadilan masyarakat serta martabat kemanusiaan
yang menjadi taruhan utamanya.
Yang perlu diperhatikan ialah mengenai
kebutuhan akan etika, standar dan tanggung jawab sebagai nilai-nilai pokok para
penegak hukum yang akan mendukung dan menjamin keberlanjutan terselenggaranya
proses pencarian keadilan yang sehat. Faktor yang ikut menuntut mencuatnya
debat tersebut berada di sisi masyarakat yang dari waktu ke waktu semakin tergantung
kepada keahlian dan keterampilan dari sekelompok orang yang disebut kaum
profesional. Kondisi ketergantungan tersebut pada akhirnya menempatkan etika
profesi sebagai salah satu sarana kontrol masyarakat terhadap profesi, yang
dalam hal tertentu masih dapat dinilai melalui parameter etika umum yang ada di
dalam masyarakat. Dengan begitu, telaah lebih lanjut mengenai dimensi moral
dari profesi penegak hukum dan berkaitan erat dengan makna, fungsi dan peranan
penegak hukum beserta kode etik yang mengatur mengenai profesi penegak hukum
itu sendiri.
Kehormatan, keberanian, komitmen,
integritas, dan profesional adalah merupakan dasar bagi para penegak hukum.
Sudah sejak dahulu profesi para penegak hukum dianggap sebagai profesi mulia.
Oleh karena itu seorang para penegak hukum dalam bersikap haruslah
menghormati hukum dan keadilan, sesuai dengan kedudukan aparat penegak hukum
tersebut sebagai the officer of the criminal. Sudah merupakan suatu
keharusan bagi para penegak hukum memahami kode etik profesi dalam menjalankan
tugasnya masing-masing. Kode etik profesi ini bertujuan agar ada pedoman moral bagi
para penegak hukum dalam bertindak menjalankan tugas dan kewajibannya.
Profesionalisme tanpa etika menjadikannya tanpa kendali dan tanpa pengarahan.
Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya tidak maju bahkan tidak
tegak.
Dalam kasus pencabualan terhadap anak di
bawah umur, para penegak hukum belum secara efisien menerapkan Undang-undang No
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam kasus pencabulan yang korbannya
menimpa seorang anak di bawah umur ini menyangkut tentang hak asasi anak
sebagai korbannya yang tidak baik mendapatkan perlakuan dalam hal kekerasan
seksual sesuai dengan Undang-undang No 23 Tahun 2002 pada pasal 81 ayat (1) dan
(2) yang menyebutkan :
a.
Setiap
orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
b.
Ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang
dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.[34]
Dari pasal di atas, pada kasus
pencabulan terhadap anak di bawah umur khususnya dalam menjerat para pelakunya
bukan hanya pasal 285 KUHP saja, akan tetapi pasal tersebut di atas dapat juga
menjadi acuan para penegak hukum untuk menjerat para pelaku yang dimana ancaman
pidana bagi para pelakunya lebih berat dibandingkan dalam pasal 285 KUHP atau dengan
kata lain undang-undang mengenai perlindungan anak tersebut janganlah
dikesampingkan akan tetapi dipakai dalam menjerat para pelaku yang menjadikan
anak-anak-sebagai objeknya.
Dan ada hal lain yang perlu diperhatikan
mengeani proses hukumnya, dimana para penegak hukum masih kurang efisien dalam
mengedepankan hak-hak anak yang menjadi korban kejahatan. Suatu kasus
pencabulan terhadap anak di bawah umur yang dicatat dalam catatan perjalanan
2009 LBH APIK Jakarta, yaitu sebagai berikut :
Es merupakan anak yang berusia 14 (empat
belas) tahun lebih, sejak usia 13 (tiga belas) tahun Es mengalami kekerasan
seksual dari bapak tirinya yang berstatus seorang dosen di sebuah universitas
swasta dan sedang kuliah mengambil gelar Doktor. Pada saat persidangan, LBH APIK
Jakarta melakukan pendekatan dengan berdiskusi dengan Majelis Hakim mengenai
kondisi psikologi korban. Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tidak
memiliki perspektif terhadap korban dimana pada saat korban dimintai keterangan
ditegur karena bicaranya dengan nada marah-marah, LBH APIK Jakarta meminta
kepada Majelis. Hakim agar terdakwa keluar dari ruang persidangan, namun
Majelis Hakim tidak menerima masukan dari LBH APIK Jakarta. Jaksa Penuntut Umum
mengajukan tuntutan selama 10 (sepuluh) tahun, namun Jaksa Penuntut Umum tidak
terlalu maksimal dalam melakukan tuntutan dalam persidangan, keluarga korban
yang lebih aktif untuk mengajukan saksi (saksi ahli psikolog), guru-guru dan
teman sekolah korban. Dalam menjatuhkan putusan Majelis Hakim mempertimbangkan
bahwa korban masih menjadi tanggungan dari terdakwa, hukuman yang dijatuhkan
Majelis Hakim selama 6 tahun dikurangi masa tahanan.[35]
Dari kasus di atas, merupakan suatu
contoh kasus dimana di dalam proses hukum mengenai tindak pidana pencabulan
terhadap anak di bawah umur tidak mengedepankan hak-hak seorang anak sebagai
korban dari pencabulan tersebut. Seharusnya para penegak hukum melakukan suatu upaya
kedilan bagi korban dan keluarganya, demi mengedepankan hak-hak anak sebagai
korban yang diutamakan walaupun pelaku mempunyai hak juga dalam proses
hukumnya.
Dilihat dari hukuman pelaku di atas
masih kurang efisien bagi pelaku dikarenakan keadilan yang dinanti oleh korban
keluarga dan segenap masyarakat tidak efisien berada di tengah-tengah mereka,
bukan berarti hukuman yang berat yang diinginkan oleh publik akan tetapi
hukuman yang sesuai dengan perbuatan pelaku dan berdampak positif agar para
pelaku jera. Para penegak hukum harus dapat melihat secara mendalam mengenai hak
asasi anak terutama sebagai korban yang menerima penderitaan yang tidak bisa
dilupakannya. Dalam penegakan hukum bukan berarti pelaku harus dihukum dengan
hukum yang paling berat akan tetapi hukuman yang sepantasnya untuk para pelaku
untuk dapat membina pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya di masa yang akan
datang.
3. Faktor
Sarana Atau Fasilitas.
Sarana atau fasilitas dibidang hukum
harus benar-benar berjalan secara baik dikarenakan sarana atau fasilitas
tersebut menjadi sebuah dukungan demi kelancaran penegakan hukum di Indonesia.
Sarana atau fasilitas yang dimaksud mencakup mengenai proses perkara pidananya.
Dalam kasus pencabulan yang korbannya
ialah anak di bawah umur, korban sangat menginginkan dalam pengaduannya
diperhatikan oleh para penegak hukum, akan tetapi dalam kenyataannya yang
sekarang terjadi korban perkosaan khususnya anak di bawah umur dipersulit dalam
prosesnya seperti suatu kasus pencabulan anak di bawah umur yang terjadi di Indonesia
yang antara lain sebagai berikut :
Seorang anak berusia 15 tahun di
Ponorogo, Jawa Tengah, menjadi korban pencabulan anak majikannya. Anehnya, dua
bulan sejak kasus ini terjadi dan dilaporkan ke polisi, hingga kini kasus ini
tidak ditindaklanjuti. Bahkan tersangka ditangguhkan penahanannya. Merasa tidak
ada respons, keluarga korban dan kepala desa setempat, kemarin, mendatangi
Markas Kepolisian Resor Ponorogo. Keluarga dan korban berinisial Dn meminta
kejelasan polisi atas kasus pencabulan yang dialaminya. Tragisnya, hingga kini,
pelaku belum juga ditangkap dan masih bebas berkeliaran. Peristiwa pencabulan
terjadi saat Dn sedang mandi di rumah majikannya pada 4 Oktober silam. Saat itu
pelaku yang juga anak majikan korban, membekap mulut dan membenturkan kepala Dn
ke dinding kamar mandi hingga pingsan. Saat itulah, pelaku mencabuli Dn yang
dalam keadaan tak sadarkan diri. Menurut polisi, kasus ini masih dalam proses
penyidikan. Namun diakui pelaku pencabulan ditanggungkan penahanannya. Polisi
tidak menjelaskan alasan penangguhan penahanan tersebut.[36]
Inilah sebuah kasus yang terjadi di
Indonesia yang terlihat dalam media masa yang membuktikan bahwa sarana atau
fasilitas dalam pelayanan pengaduan korban belum di respon secara baik, kalau
hal seperti ini terusmenerus terjadi maka tidak akan tercipta suatu penegakan
hukum yang diharapkan oleh semua lapisan masyarakat.
4. Faktor
Masyarakat dan Kebudayaan
Dalam kehidupan bermasyarakat, penegakan
hukum menjadi tolak ukur bagi masyarakat untuk merasakan suatu keadilan.
Mengenai kasus perkosaan dimana masyarakat sangat berperan aktif dalam masalah
penegakan hukum, maksudnya masyarakat harus mendukung secara penuh dan berkerja
sama dengan para penegak hukum dalam usaha penegakan hukum di Indonesia. Akan
tetapi masyarakat di daerah yang mempunyai pengaruh adat yang sangat besar
belum mempercayai dengan secara penuh tentang adanya hukum yang berlaku di
negara ini, dikarenakan mereka masih percaya dengan hukum adatnya sendiri atau
dengan kata lain masyarakat yang mempunyai cara tersendiri untuk menegakan
aturan yang berlaku di daerahnya tersebut atau dengan kata lain main hakim
sendiri dengan cara menikahkan pelaku dengan korban ataupun memukuli pelaku
yang pada dasarnya bertujuan agar pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya
kepada korban. Dari faktor-faktor yang tersebut di atas mungkin dapat
mempengaruhi penegakan hukum khususnya dalam kasus pencabulan terhadap anak di
bawah umur karena perbuatan yang melanggar hukum harus senantiasa dilengkapi
dengan organ-organ penegakannya yang tergantung pada faktor-faktor yang
meliputi :
a.
Harapan masyarakat, yakni apakah
penegakan hukum tersebut sesuai atau tidak dengan nilai-nilai masyarakat.
b. Adanya
motivasi warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya perbuatan melanggar hukum
kepada organ-organ penegak hukum tersebut.
Penegakan
hukum yang konsisten harus terus diupayakan untuk mengembalikan kepercayaan
masyarakat terhadap hukum yang berlaku di Indonesia, karena masyarakatlah ialah
faktor yang sangat berperan aktif mendukung proses penegakan hukum pada
akhir-akhir ini di media masa banyak masalah yang timbul seperti adanya mafia
hukum yang dimana hukum digunakan sebagai alat kekuasaan bagi mereka yang
menjadi oknumnya sehingga membuat kepercayaan masyarakat pada hukum yang
berlaku di Indonesia mulai musnah sedikit demi sedikit oleh sebab itu, para
aparat penegak hukum harus lebih di upayakan profesionalitas, kejujuran dan
bersih dari permainan yang di buat oleh oknum-oknum tertentu dalam kinerjanya
di bidang penegakan hukum. Peranan hukum dalam masyarakat yang bebas ialah to
enforce the truth and justice, yaitu penegakan kebenaran dan menegakkan
keadilan. Hal ini dapat terwujud bila penegakan hukum dilakukan tanpa pandang
bulu atau pilih kasih dan tidak ada diskriminasi ataupun tidak bersifat berat
sebelah atau imparsial.
B. Perlindungan
Terhadap Korban (Anak)
1. Hak
Anak Sebagai Korban
Banyaknya kasus mengenai kekerasan
terhadap anak yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai suatu indikator
buruknya kualitas perlindungan anak. Keberadaan anak yang belum mampu untuk
hidup mandiri tentunya sangat membutuhkan orang-orang sebagai tempat berlindung
bagi anak. Rendahnya kualitas perlindungan anak di Indonesia banyak menuai
sorotan dan kritik dari berbagai lapisan masyarakat. Perlindungan anak ialah
“suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak
dan kewajibannya” .[38]
Masalah perlindungan terhadap anak di
bawah umur yang menjadi korban pencabulan atau kekerasan seksual bukan
persoalan yang mudah untuk kita praktekkan dalam kenyataannya di kehidupan
sehari-hari.
Setiap terjadinya suatu kejahatan,
dimulai dari kejahatan yang ringan sampai yang berat sudah tentu akan
menimbulkan korban dan korbannya tersebut akan mengalami penderitaan, baik yang
bersifat materil maupun imateril khususnya dalam kasus pencabualan atau
kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang dimana seorang anak tidak
semestinya mendapatkan perlakuan yang salah tersebut, dikarenakan setiap anak memiliki
hak yang terkandung dalam Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak pasal 81 ayat (1) dan (2) yang meliputi :
a.
Setiap
anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapatkan perlindungan
dari bentuk kekerasan dan diskriminasi.
b.
Setiap
anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
c.
Setiap
anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, bepikir dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
d.
Setiap
anak berhak untuk mengetahuinya orang tuanya. Hal tersebut dimaksudkan agar
anak tersebut mengetahui asal usul dan silsilah keluarganya apabila anak
tersebut dalam keadaan lain karena suatu sebab diantaranya anak terlantar atau
orang tua tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak maka anak dapat diasuh atau
diangkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang belaku.
e.
Setiap
anak berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spritual dan sosial.
f.
Setiap
anak berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
g.
Setiap
anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya. Yang dimaksudkan ialah setiap
anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
h.
Setiap
anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak yang seumurnya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat
kecerdasannya dalam pengembangan dirinya.
i.
Setiap
anak yang menyandang cacat berhak untuk memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial
dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
j.
Setiap
anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan :
1)
Diskriminasi,
misalnya perlakuan yang membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,
etnik, budaya, bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi
fisik maupun mental anak.
2)
Ekspoitasi
dengan cara ekonomi atau seksual, misalnya tindakan memperalat, memanfaatkan
ataupun memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau
kelompok.
3)
Penelantaran,
misalnya tindakan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara,
merawat atau mengurus anak sebagaimana mestinya.
4)
Kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan, misalnya tindakan secara keji, sadis, melukai,
mencederai bukan hanya fisik, akan teapi mental dan sosial, tidak menaruh belas
kasihan kepada anak.
5)
Ketidakadilan,
misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan yang lainnya atau
kesewenang-wenangan terhadap anak.
6)
Perlakuan
salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh lainnya.
k.
Setiap
anak berhak untuk diasuh orang tuanya sendiri terkecuali apabila ada suatu
alasan atau aturan hukum yang sah untuk memisahkan anak dari orang tuanya
sendiri, pemisahan tersebut bukan untuk menghilangkan hubungan anak dengan
orang tuanya akan tetapi demi kepentingan yang terbaik bagi anak.
l.
Setiap
anak berhak memperoleh perlindungan dari:
1)
Penyalahgunaan
dalam kegiatan politik.
2)
Pelibatan
dalam sengketa bersenjata.
3)
Pelibatan
dalam kerusuhan sosial.
4)
Pelibatan
dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.
5)
Pelibatan
dalam peperangan.
m.
Setiap
anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
n.
Setiap
anak berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
o.
Penangkapan,
penahanan atau tindak pidana yang dilakukan anak dapat dilakukan sesuai dengan
hukum yang berlaku, dan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir.
p.
Setiap
anak yang dirampas kebebasannya berhak :
1)
Mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
2)
Memperoleh bantuan
hukum atau bantuan lainnya secara efisien dalam setiap tahapan upaya hukum yang
berlaku.
3)
Membela diri dan
memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak
dalam sidang tertutup untuk umum.
Sedangkan
kewajiban anak yang terkandung di dalam Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak pasal 81 ayat (1) dan (2) yang meliputi :
a.
Setiap
anak berkewajiban untuk menghormati orang lain.
b.
Setiap
anak berkewajiban untuk mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman.
c.
Setiap
anak berkewajiban untuk mencintai tanah air, bangsa dan negara.
d.
Setiap
anak berkewajiban untuk menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.
e.
Setiap
anak berkewajiban untuk melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Apabila diperhatikan dari hak dan
kewajiban anak tersebut di atas merupakan suatu upaya dimana hak asasi seorang
anak harus tetap diperhatikan dalam usaha pelindungan terhadap anak, karena
anak yang dimana usia mereka merupakan usia yang sangat mudah dan renta untuk dijadikan
korban dari perlakuan yang salah dari orang dewasa, mereka belum mengerti dan
paham bahwa hak mereka telah dirampas oleh orang yang menjadikan anak sebagai
korbannya dalam suatu kejahatan.
Seorang anak yang menjadi korban
kejahatan dari suatu tindak pidana yang khususnya perkosaan mempunyai berbagai
hak dan kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan kemampuan yang berhubungan
dengan usianya. Hak dan kewajiban tersebut yang dikemukakan oleh Arief Gosita yang
antara lain sebagai berikut :
a. Hak-hak
anak yang menjadi korban perbuatan kriminal adalah :
1)
Mendapat bantuan fisik (pertolongan
pertama kesehatan, pakaian, naungan dan sebagainya).
2) Mendapat bantuan penyelesaian permasalahan yang (melapor,
nasihat hukum, dan pembelaan).
3)
Mendapat kembali hak miliknya.
4)
Mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi.
5) Menolak menjadi saksi, bila hal ini akan membahayakan
dirinya.
6) Memperoleh perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban
bila melapor atau menjadi saksi.
7) Memperoleh ganti kerugian (restitusi, kompensasi) dari
pihak pelaku (sesuai kemampuan) atau pihak lain yang bersangkutan demi keadilan
dan kesejahteraan yang bersangkutan.
8)
Menolak ganti kerugian demi kepentingan
bersama.
9)
Menggunakan upaya hukum (rechtsmiddelen).
b. Kewajiban-kewajiban
korban adalah :
1)
Tidak sendiri membuat korban dengan
mengadakan pembalasan (main hakim sendiri).
2)
Berpartisipasi dengan masyarakat
mencegah pembuatan korban lebih banyak lagi.
3)
Mencegah kehancuran si pembuat korban
baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain.
4) Ikut serta membina pembuat korban.
5)
Bersedia dibina atau membina diri
sendiri untuk tidak menjadi korban lagi.
6)
Tidak menuntut ganti kerugian yang tidak
sesuai dengan kemampuan pembuat korban.
7)
Memberi kesempatan pada pembuat korban
untuk memberi ganti kerugian pada pihak korban sesuai dengan kemampuannya
(mencicil bertahap/imbalan jasa).
8)
Menjadi saksi jika tidak membahayakan
diri sendiri dan ada jaminan keamanan untuk dirinya.[39]